Minggu, 09 Desember 2012



            قال اللهُ تَعَالَى: )فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا(.
            (Q.S. Al-Kahfi [18]: 6)
            وَقَوْلُه جَلَّ ثَنَاؤُهُ: )فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(.
            (Q.S. Fathir [35]: 8)
            وَقَوْلُه جَلَّ وَعَلاَ: )وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ(.
            (Q.S. Ali Imran [3]: 176)
            وَعَنِ السَّيِّدّةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ: (مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ e بَيْنَ أمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إثماً، فَإنْ كَانَ إثماً، كَانَ أبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ. وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ لِنَفْسِهِ في شَيْءٍ قَطُّ، إِلاَّ أن تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ الله ، فَيَنْتَقِمَ للهِ تَعَالَى). متفق([1]).
Ilustrasi (inet)
       dakwatuna.com - Ada juga dari mereka yang mengangkat suara memperjuangkan hak-hak kaum minoritas muslim (yang minoritas dari muslim selamanya tertindas, tetapi yang minoritas selain dari mereka selalu mendapatkan perlindungan dari human rights) yang tidak mendapatkan kepedulian dari mereka yang mengatasnamakan diri pembela hak-hak asasi manusia. Mereka-mereka itulah pejuang sejati yang membuka belenggu kezhaliman dari tangan-tangan suci dan kaki-kaki tegar umat sehingga dengan sendirinya mereka mampu melangkah ke garda depan peradaban yang bersinar.

            Setiap dari mereka memberikan keteladanan yang dikenang abadi sepanjang zaman oleh generasi umat, meski mereka disiksa dan dianiaya.
            Sejarah mereka seperti sebatang pohon yang akarnya tertanam kuat di padang pasir, tumbuh subur meneduhi hati umat yang haus kesejukan hidayah, pertolongan, dan hikmah-hikmah kehidupan, menyuguhkan buah-buah beraneka ragam yang lezat, mengenyangkan, dan tidak membosankan.
            Akar perjuangan mereka telah dicontohkan dengan baik dan sempurna oleh pemilik tingkat kemanusiaan tertinggi, Rasulullah Saw. Akar itu kokoh karena dipupuk dengan sari pati akhlak Al-Quran yang dicontohkan dan diterapkan ke dunia nyata dengan penuh kedisiplinan para sahabat dan tabiin, dua generasi umat yang sejarah mereka terabadikan sebagai sejarah umat terbaik.
            Oleh karena kemuliaan jihad kemanusiaan yang islami ini, sepenuhnya dikembalikan kepada Rasulullah Saw -dilihat dari risalah yang diembannya untuk mengeluarkan manusia dari alam kehambaan yang tidak mengenal ketuhanan yang esa ke alam yang mengenal keesaan Tuhan-, maka tulisan ini hadir untuk Baginda Rasulullah Saw dan bagi para pecinta dan perindunya.
            Yang diketahui bersama kosa kata kehidupan kita tidak lepas dari kejadian-kejadian yang kadang tidak memuaskan. Tentunya, kita bersedih, sedih karena merasa harga diri diinjak, usaha sia-sia, harapan tidak tercapai, sedih dengan diri sendiri. Tetapi, pernahkah Anda berusaha menepis kesedihan itu dan melihatnya bahwa itu tidak lain kecuali serpihan-serpihan hidup yang tidak perlu menguras porsi pikir yang kadang berakhir dengan tangis dan penyesalan? Pernahkah Anda mengatakan: “kenapa saya sedih dengan diriku sendiri, bukankah di sana ada jutaan problem umat yang patut aku sedihi? Di sana ada kemiskinan, kebodohan, dan hak-hak minoritas muslim yang terinjak-injak hina oleh kejamnya ketidakadilan pemegang kebijakan dan kekuasaan.“ Adakah Anda dari mereka yang berkata: “Kenapa saya sedih dengan diriku sendiri, sementara di sana ada saudara-saudara muslimku yang mati kelaparan teraniaya oleh kaum penjajah, kehilangan tempat tinggal, kerabat, dan keluarga? Apakah di sana ada yang sedih oleh masalah umat, tidak sedih dengan apa yang terjadi terhadap dirinya sendiri?”
            Ya, Rasulullah Saw dan mereka yang dirahmati Allah meneladani perjuangannya. Rasulullah Saw sering terlihat dilanda gundah dan sedih dari kekafiran orang-orang musyrik yang lahir dari keangkuhan dan kebodohan. Ia sedih bukan karena siksaan mereka, tetapi sedih dari kebodohan dan keangkuhan yang membutakan mereka dari kebenaran Islam. Olehnya itu, di salah satu munajatnya ia meminta kepada Allah SWT untuk tidak menurunkan azab kepada kaumnya, karena kekafiran mereka itu datangnya dari kebodohan belaka.
            Yang diabadikan Al-Quran di sini kesedihan Rasulullah Saw yang dapat mencelakai dirinya ([2]) –seperti yang tertera di ketiga ayat di atas-, Olehnya itu, ia mendapatkan teguran langsung dari Allah untuk tidak menyikapi hal tersebut dengan sikap yang berlebihan, sikap yang dapat mencelakai dirinya. Bukankah tugas setiap rasul hanya menyampaikan, keberhasilan setiap dakwah ada di tangan Allah SWT, pemilik risalah.
            Dengan bimbingan qur’ani ini Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan dendam kepada siapa pun, meski kepada mereka yang pernah menyakitinya. Jika dia marah dan balas dendam, maka ia marah dan balas dendam karena Allah. Yang demikian itu karena di sana ada larangan-larangan syariat yang telah dilanggar oleh mereka yang menghendaki pencegahan dan hukuman yang setimpal –seperti yang ditegaskan di hadits di atas-.
            Berangkat dari hakikat tersebut, para pecinta dan perindu Rasulullah Saw dari kalangan penafsir senantiasa menyucikan Nabi Saw dari ta’wil-ta’wil batil yang menyalahi hakikat kenabian dan risalah, seperti ta’wil Jarullah az-Zamakhsyari di saat menafsirkan ayat 33 dari Q.S al-An’am [6], di sana beliau berkata:
“firman Allah: (قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكََ) maknanya, sesungguhnya kebohongan mereka itu terhadap dirimu kembali kepada Allah SWT karena engkau adalah rasul-Nya yang memperlihatkan kebenaran dengan mukjizat-mukjizat, mereka itu pada dasarnya tidak mendustakanmu, akan tetapi mereka mendustai Allah dengan mengingkari ayat-ayat-Nya. Yang demikian itu firman Allah yang memberitahu umat tentang kesedihanmu terhadap dirimu sendiri.”([3])
            Pernyataan Az-Zamakhsyari di akhir kalimat yang mengatakan: “Yang demikian itu firman Allah yang memberitahu umat tentang kesedihanmu terhadap dirimu sendiri,” dikomentari pedas oleh penafsir-penafsir lain, di antaranya: Syekh al-Qunuwwi dari pernyataannya berikut ini:
            “Ta’wil seperti ini wajib untuk dihindari karena mengisyaratkan ketidaksempurnaan (cengeng) Nabi Saw dalam mengemban amanah risalah. Sementara itu, maksud dari ayat ini –dilihat dari sistematika yang ada- hiburan terhadap Nabi Saw dari pembangkangan kaumnya yang lebih memilih kesesatan dari kebenaran.”([4])
Tingkat kemanusiaan yang tidak tertandingi ini ditiru dan dicontohkan oleh mereka yang dirahmati Allah dari umatnya, mereka yang senantiasa menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi umat yang menyayat hati, kondisi umat yang digerogoti oleh pemikiran-pemikiran kotor yang diusung oleh arus atheisme, positivisme, dan sekularisasi di pelbagai sudut-sudut kehidupan. Bagi mereka penyakit-penyakit umat ini lebih ganas pengaruhnya terhadap tubuh mereka dari penyakit fisik karena yang menderita olehnya adalah batin, yang jika sakit obatnya tidak disembuhkan oleh resep kedokteran.
Di akhir tulisan ini, saya mengajak pecinta dan perindu Rasulullah Saw untuk menarik sebuah kesimpulan seperti berikut:
“Sikapilah kesedihan Anda seperti Rasulullah SAW dan yang dirahmati Allah dari umatnya menyikapi kesedihan mereka, bersedihlah karena derita umat yang butuh uluran tangan, dan hiburlah diri Anda dengan berupaya meringankan derita mereka. Luangkan di pikiran dan hati Anda masalah-masalah mereka yang butuh pemecahan seperti yang telah dicontohkan dengan baik dan sempurna Rasulullah Saw jika Anda ingin meniru sunnah ini. Coba dekati Rasulullah Saw dari pintu sunnah ini setelah Anda mendekatinya dari pintu-pintu lain yang dikoleksi sunnahnya!”


([1])   Hadits riwayat Aisyah R.A di Shahih Imam Bukhari, kitab al-Manaqib, bab Sifati an-Nabi Saw, hadits. no: 3600, vol. 2, hlm. 700, dan di Shahih Imam Muslim, kitab al-Fadhâil, bab Mubâadatihi Saw lil Âtsâm waikhtiyârihi min al-Mubah Ashaluhu wa Intiqâmuh lillahi inda Intihâki Hurumâtih, hadits. no: 6190, vol. 2., hlm. 999
([2])   Yang ditakutkan di sini kesedihan yang dapat menyakiti Rasulullah Saw sehingga ia tidak dapat mengemban risalahnya dengan baik dan sempurna, seperti kesedihan Nabi Ya’qub A.S yang menyebabkan dirinya buta setelah meratapi nasib Nabi Yusuf A.S dan saudaranya. Lihat: Q. S. Yusuf [12]: 84-85
([3])   Al-Kasyyâf, vol. 2, hlm. 339
([4])   Lihat: Hâsyiyah al-Allâmah al-Qunuwwi ala Anwâr at- Tanzili, vol. 8, hlm. 71-72, dan lihat juga Tafsir Syekh Abi Suud, vol. 2, hlm. 357


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/25023/meneladani-nilai-nilai-kemanusiaan-rasulullah-saw/#ixzz2EXg2Rfca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar