Minggu, 09 Desember 2012


Teaching With Love

14/11/2012 | 28 Dhul-Hijjah 1433 H | Hits: 1.079
Oleh: Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, Psi. MSc.

Kirim Print
Ilustrasi (wordpress.com/winterwing)
dakwatuna.com - Saat masih duduk di bangku sekolah adalah masa indah yang sangat berkesan dan tak terlupakan. Persahabatan yang terjalin indah dengan banyak teman, kompak, akrab, penuh canda tawa, melakukan kegiatan kesenian, olahraga dan berbagai kegiatan lainnya, memperkaya pengalaman batin. Tentu saja yang paling berkesan adalah proses belajar mengajar dan guru-guru yang tulus ikhlas mendidik kami. Pengalaman itu terus membekas dan menjadi bekal yang sangat berharga untuk merintis masa depan.
Dulu, sekitar tahun 70-80 an, kami sangat merasakan betapa guru-guru saat itu mengajar dengan tulus dan sepenuh hati.
Memang terkadang mereka terkesan galak, pemarah dan tegas, tapi kami paham maksudnya, benar-benar agar murid-murid serius belajar, agar pelajaran yang diajarkan betul-betul terpatri di otak peserta didik.
Hingga kini, setelah 40 tahun berlalu, bekal ilmu yang diberikan guru-guru kami tersebut masih berbekas dalam hati dan pikiran, menjadi bekal yang tak ternilai dalam meniti karir sepanjang hidup. Hingga kini, kami selalu rindu untuk bisa berkumpul dengan guru-guru yang umumnya telah tua dan pensiun. Kami sangat menghormati mereka, betul-betul seperti orang tua sendiri. Beberapa di antaranya telah dipanggil menghadap Sang Khaliq, doa selalu kami kirimkan untuk beliau.
Mungkin itulah yang dimaksud Prof. DR. Theodoro Llydon C. Bautista dengan istilah “Teaching With Love”. Tema itu dibahas profesor dari University of Philipine atas prakarsa STKIP Adzkia di aula BI pekan lalu.
Lebih lanjut menurut profesor muda yang baru berusia 40 tahun ini, murid yang dididik dengan rasa cinta dan kasih sayang (Teaching With Love) juga akan memberikan cinta dan kasih sayang kepada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Saat terjadi bencana besar gempa dan tsunami di Jepang tahun lalu ada belasan ribu warga yang meninggal, ratusan ribu warga mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. Suasana waktu itu sungguh-sungguh kacau dan tak bisa dicerna oleh pikiran yang waras.
Namun untunglah ada sekitar 300.000 relawan dari berbagai perguruan tinggi di Jepang terjun langsung ke lokasi bencana. Mereka dengan sukarela ikut membantu dan dengan cinta dan kasih sayang merawat dan menangani para korban yang umumnya lansia dan anak-anak. Musibah itu akhirnya bisa diatasi dengan baik tanpa banyak masalah.  Cinta dan kasih sayang itu telah ditumbuhkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah.
Bautista juga mencontohkan beberapa pemukiman kumuh, daerah-daerah bronx dan miskin berhasil ditata menjadi pemukiman asri dan nyaman. Semua itu berhasil dilakukan dengan kerjasama, kepedulian dan kasih sayang sesama manusia.
Kini, banyak orang tua murid yang mengeluhkan tak banyak lagi guru yang mengajar dengan cinta, kasih sayang dan ketulusan (Teaching With Love) seperti dulu. Guru seolah-olah mengajar hanya sekadar menjalankan tugas. Siswa sering terlantar karena guru sangat sibuk, menyelesaikan kuliahnya, mengurus akreditasi, mengurus BOS, sampai mengurus pembangunan fisik sekolah dan urusan-urusan lain yang di luar kewajiban mereka.
Ada kekhawatiran fenomena inilah yang merupakan salah satu penyebab seringnya timbul tawuran bahkan yang sangat tragis, yaitu adanya pelajar yang sampai membunuh pelajar lain. Subhanallah…
Apakah apa yang dikeluhkan masyarakat itu benar terjadi? Tentu perlu dievaluasi lagi. Jika memang terjadi, tentu harus segera diperbaiki. Tentu kita ingin mencegah dan memperbaiki agar hal-hal yang lebih buruk tidak terjadi lagi, sebelum terlanjur. Kita semua tentu tidak ingin kehilangan generasi masa depan (lost generation), itu disebabkan karena kesalahan dan dosa kita. Mari berubah dan lakukan yang terbaik.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/11/24107/teaching-with-love/#ixzz2EXjKEKGI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar